Ku luapkan amarah ini pada
tulisan kesedihan dan keraguan.
Sudah
hampir sebulan berlalu, entah kenapa luka ini tak mau beranjak pergi. Bimbang
yang selalu datang membuat raga ini terasa mati. Jantungku terasa lemah, dan
hati ku seakan beku. Ingin rasanya ku menangis dan teriak sekuat tenanga, namun
ku tak berdaya. Ingin rasanya melawan takdir yang ada, tapi aku tak bisa
berbuat apa apa. Hanya segumpal amarah yang terkadang membuat ketakutan ini
semakin meraja. Mencoba berlari dari kenyataa namun kaki ku tak dapat
kulangkahkan. Aku tak berdaya, aku terlalu lemah untuk mencoba. Kesabaran yang
ada hanya jadi sebuah teman yang tak bisa ku andalkan. Hanya perih yang terus
ku genggam dan kurasakan selama ini.
Aku masih tetap tak bisa
menerima semua kenyataan yang ada. meski terus berusaha memendam luka yang
begitu menyiksa. Mungkin derita ini akan selalu ada sampai aku benar benar
sudah tiada. Sesak nafasku mengingat pahit yang harus kutelan begitu dalam. Aku
terdiam menahan segala pedih yang tak mungkin kulupakan. Meratapi segala bentuk
kekuasaan Tuhan hingga akhirnya sampai pada suatu titik ketidakberdayaan.
Tuhan...
Sampai kapan rasa ini akan
selalu ada. Sampai kapan hati ini akan bebas dari rasa gelisah. Sampai kapan jantung
ini akan terus melemah. Jika memang ini takdir yang telah Engkau beri untu ku.
Tolong lepaskan bayang itu dari setiap detik kekecewaan.
Memang sejenak perasaan ini terkadang hilang,
terkadang aku bisa berjalan diatas segala beban derita yang selama ini ku
genggam. Mencoba melepaskan setiap ingatan pahit yang selama ini aku telan. Menerima
semua kebencian yang terkadang datang sebagai sebuah pelajaran. Tersenyum dalam
sebuah kebohongan dan terus melangkah untuk sebuah kebahagiaan. Berusaha melupakan
semua ketakutan demi sebuah kebaikan. Entah harus sampai kapan aku terus berada
dalam sebuah lingkar nurani kehidupan. Entah sampai kapan aku bisa membuang ego
keburukan sebagai keikhlasan. Aku bukan manusia yang sempurna yang bisa
menerima semua kesabaran. Aku hanya melangkah pada jalan yang sudah seharusnya
ku perjuangkan. Memaksa menerima semua takdir yang sudah seharusnya ku terima sebagai
bentuk keadilan Tuhan. Dan jika perasaan itu datang kembali, mungkin aku belum
bisa menjadi orang yang benar benar sepenuhnya dapat melupakan semua apa yang
sudah kudapatkan. Biarlah, biarlah waktu yang akan menjawab semua amarah hati
ini.
Terima kasih untuk badai yang menemani ku malam
ini, terima kasih sepi yang sudah membuat perasaan ini sedikit terobati. Entah harus
dengan siapa aku mengadu, mungkin hanya sedikit sendu yang bisa kuceritakan
pada sebuah tulisan tak terarah. Terima kasih dingin, engkau teman yang
menemaniku dalam setiap lantunan jemari. Semoga semua ini menjadi berarti.
No comments:
Post a Comment